Nama : Reni Dewita Sari
Universitas : Universitas Jambi
Fakultas : Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Jurusan : Pendidikan Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam
Program Studi : Pendidikan Kimia
Kancing-kancing kecil
Udara
siang ini begitu terik ku rasakan , hembusan angin yang bertiup telah
meruntuhkan dedaunan yang kering , kerikil-kerikil jalanan ini telah penuh
masuk ke dalam sepatu ku yang telah berlubang , sesekali ku harus berhenti
sejenak untuk mengeluarkan kerikil-kerikil itu , sambil terus menapakkan kaki
ku berjalan menyusuri jalan setapak yang ramai di lalui warga kampung ku ,
kring-kring... terdengar oleh ku bunyi bel sepeda tua pak Slamet yang tetap
nyaring bunyinya , dengan senyum ramah pak Slamet menghampiri ku , “ Mau pulang
dengan bapak nak ?? “ , tanya pak Slamet ramah , “ oh.. boleh pak “, jawabku
segera . Pak Slamet adalah guru agama ku , orangnya sangat ramah dan penyabar ,
tak heran jika banyak murid yang menyukainya ,ia juga seorang yang cerdas ,
yang mampu mengatasi masalah dengan segera dan merupakan sosok yang di butuhkan
di lingkungan masyarakat sekitar. “ Nah ... sudah sampe nak “, ucap bapak
ketika sampai di depan rumahku , “ iya
pak terimakasih , mau mampir dulu pak ? “, “ oh ... tidak usah , lain kali saja
nak , kalau begitu bapak pulang dulu , Assalamualaikum.... “, “ Walaikumsalam
“, jawab ku sambil tersenyum , ku pandangi pak Slamet yang berlalu sambil
mengayuh sepeda tuanya, sampai di penghujung jalan dan sosok itu tak terlihat
lagi , “ Aisyah...... “, panggil seseorang dari balik pintu , sambil tersenyum
ku hampiri ibu ku dan ku kecup tangannya , tangan yang sudah tak muda lagi ,
tangan yang menjadi saksi bisu betapa kerasnya hidup ini dan tangan yang selalu
lembut membelai rambut ini dengan penuh kasih sayang, “ ganti pakaianmu nak,
shalat dan makan “, ucapnya lembut , dengan segera ku jalankan perintahnya ,
setelah mengganti pakaian dan shalat dzuhur ku hampiri meja kayu sederhana di
dapur , meja sederhana peninggalan ayahku dua tahun yang lalu, yah... aku sudah
menjadi anak yatim sekarang , sosok ayah telah tiada , ia telah lebih dahulu
menghampiri surga setelah mengalami sakit yang begitu keras , namun tak mengapa
, aku masih bersyukur karna aku masih memiliki sosok ibu yang begitu
mencintaiku sepenuh hatinya, “makan nak, setelah itu tolong antarkan pesanan
jahitan bu kades “, ucap ibu dari balik kelambu pintu kamar yang telah usang,
sambil lahap ku menyantap menu masakan ibu hari ini , rebusan daun ubi sambal
terasi lengkap dengan ikan asin di atasnya mampu membuat nafsu makan ku naik ,
masakan ibu memang yang terlezat tak perduli walau menu yang di sediakan sangat
sederhana. Setelah selesai makan ku bergegas mengantarkan pesanan jahitan bu
kades, tok tok tok, ku ketuk pintu rumah bu kades dan tak lama dari itu bu
kades menghampiri , “ ini bu pesanannya “, ucapku seraya menyerahkan kantung
plastik kepada bu kades, “ oh.. iya terimakasih ya nak Aisyah “, ucap bu kades
, “ iya bu , kalau begitu saya pamit pulang dulu , Assalamualaikum”, ucapku
seraya meninggalkan rumah bu kades.
Jalanan
ini begitu sepi kala hari telah menjelang petang, ku lihat ibu-ibu penjual
sayur mulai merapikan dagangannya, dan anak-anak yang dengan riang telah
bersiap untuk pergi mengaji, hmmm.... sungguh pemandangan setiap hari yang ku
rasakan, disini ku telah berdiri, di depan mushola kecil berlampu petromak, di
kampungku ini masih belum ada listrik,jadi tak heran jika rumah-rumah hanya
berlampu petromak dan obor yang di pasang di jalan-jalan . Telah ku lihat pula
pak Slamet yang tengah mengajari seorang anak mengaji sedang yang lain belajar
arab kaligrafi, “ka Aisyah ini bacanya apa ?” tanya seorang adik kecil kepada
ku, sambil tersenyum ku lihat buku Iqro’ nya yang mulai usang dan tulisan yang
telah kabur dengan sobekan-sobekan kecil di tepinya,”oh,, ini bacanya
Lam”,jawabku, “terimakasih ka Aisyah”, ucapnya seraya tersenyum dan berlari
kembali ke rombongan teman-temannya, ku hanya tersenyum dan geleng-geleng
kepala melihat tingkahnya yang lucu, “Aisyah,,,”, panggil pak Slamet , “iya
pak,,”, jawabku , “Sekarang giliranmu untuk mengaji”, dengan sabar pak Slamet
mengajari ku mengaji dan memperbaiki bacaan-bacaan ku yang salah, “sudah hampir
benar cara membacanya, tinggal di pelajari lagi, InsyaAllah bisa”, ucap pak
Slamet memberi semangat, sambil menganggukkan kepala ku pamit untuk pulang.
Cahaya obor menerangi jalan ku untuk sampai
kerumah, para bapak-bapak telah bersiap-siap untuk ronda dan ibu-ibu yang
mengasuh anak-anak mereka, sesampainya di rumah ku lihar ibu yang tengah
menjahit sambil mendengarkan siaran radio kesukaannya,esok hari minggu, jadi ku
tak perlu cepat-cepat untuk beranjak tidur,ku hampiri ibu dan kuceritakan
pengalaman hari ini dan ia mendengarkan sambil tersenyum, ku lihat ibu tengah
menjahit sebuah baju dengan corak batik coklat yang sangat cantik, dalam hati
aku ingin memiliki pakaian hasil jahitan ibu, namun tampaknya tidaklah mungkin.
Malam sudah mulai larut, sunyi sepi telah terasa, ku beranjak masuk kamar dan
tertidur , hanya suara-suara jangkrik yang terdengar di luar sana memecah kesunyian
di malam ini.
Suara
adzan subuh membangunkanku, mendorongku tuk menunaikan shalat subuh, ku lihat
ibu juga telah terbangun dengan telekun di tangannya bersiap untuk shalat subuh
berjamaah di mushola , ku pun segera menyusulnya tak ingin ketinggalan
moment-moment ini. Setelah shalat berjamaah selesai ku memutuskan untuk
berjalan-jalan sebentar , menikmati indahnya matahari pagi, saat melintasi
halaman rumah pak Slamet , ku melihat beliau sedang sibuk dengan tempurung
kelapa yang telah kering , ku hampiri beliau dan ku tanyakan apa yang tengah di
lakukannya, “ oh... bapak tengah membuat asbak dari tempurung kelapa
ini,hasilnya lumayan bagus dan tahan lama”, jawab beliau, “sepertinya unik dan
menarik pak, bolehkah saya belajar membuat asbak dari tempurung kelapa ini ?”,
tanyaku kepada pak Slamet, “tentu saja nak,siapa pun boleh belajar,kamu bisa
memulainya nanti siang,sekarang pulanglah dahulu, bantu ibumu membereskan
pekerjaan rumah”,ucapnya kepada ku. Seperti janji pak Slamet, beliau
mengajariku cara membuat asbak siang ini , dimulai dengan membelah tempurung
kelapa, mendesain bentuk, mengamplas,dan terakhir memberi cat, sebelum akhirnya
di jemur di bawah sinar matahari, percobaan pertama sangat memuaskan, membuatku
ketagihan untuk membuat lagi, di rumah dikala waktu senggang ku selalu
berurusan dengan tempurung-tempurung kelapa ini, dengan telaten ku olah
tempurung kelapa ini menjadi asbak dengan berbagai bentuk dan warna ,
bahan-bahan membuat asbak ku dapatkan dengan cara menyisihkan sebagian uang
sakuku setiap harinya. Asbak hasil buatan ku ,ku pajang di atas meja panjang
dekat dengan mesin jahit ibu , terkadang ada juga yang tertarik untuk
memilikinya , dengan senang hati ku menjualnya dengan harga terjangkau ,
sekedar untuk mengganti harga cat saja, dalam waktu yang tak lama, asbak-asbak
buatan ku telah ada di setiap rumah-rumah warga, tak sedikit pula yang datang
untuk belajar cara membuatnya , dan dengan senang hati aku mengajari mereka,
seperti saat pak Slamet mengajari ku.
Siang
ini aku tak mengantarkan pesanan jahitan pelanggan ibu seperti biasanya,
sungguh aneh ku rasakan, “bu, kenapa hari ini tidak ada pesanan jahitan yang di
antar ?”, tanyaku pada ibu, “ untuk sekarang belum bisa di antar, karena
kancing untuk pakaian pesanan itu habis, ibu lupa untuk memesan kancing-kancing
itu pada pamanmu ketika beliau ke kota kemaren”, terang ibuku, “lalu bagaimana
bu,jika tidak segera di antar maka mereka akan marah dan tidak mau menjahit di
sini lagi”, ucapku kemudian , “entahlah, ibu juga binggung”, ucap ibuku dengan
wajah cemas, aku hanya bisa tertunduk sambil manarik nafas. Saat ku berjalan ke
belakang, ku melihat tumpukan tempurung kelapa yang tersisa, jika tempurung
kelapa dapat di olah sebagai asbak,tentu dapat diolah juga sebagai kancing
pakaian, dengan segera ku ambil peralatan dan mulai mengolah tempurung kelapa
ini menjadi kancing , namun itu tidak mudah , ukuran kancing yang sangat kecil
sangat sulit untuk di bentuk, banyak bagian tempurung yang tidak rata dan
bentuk yang tidak di harapkan, sudah dua jam aku berusaha membentuk tempurung
kelapa ini , namun hasilnya tidak memuaskan , ini sangat sulit, namun aku tidak
boleh menyerah , sejenak ku teringat bahwa dulu ayahku adalah tukang kayu
pembuat perabot rumah tangga, segera ku berlari ke tempat penyimpanan alat-alat
ayahku, ku temukan di situ pisau-pisau kecil untuk mengukir, bor kecil dan
beberapa lembar amplas, “semoga kali ini berhasil”, ucapku dalam hati, dengan
penuh semangat ku ukir tempurung-tempurung kelapa ini dengan pisau-pisau kecil
, kemudian membor kancing-kancing ini dengan hati-hati, mengamplas agar
permukaannya menjadi halus dan kemudian mengecatnya agar tampak mengkilat, puas rasanya setelah
melihat hasil usahaku sendiri, setelah di jemur di bawah terik matahari,
kuserahkan kancing-kancing buatanku kepada ibu, dengan bahagia ibu menerima
kancing-kancing ku, dan menjahitkannya pada pakaian pesanan pelanggan ibu, tak
hanya sampai di situ kebahagiaan ku, ternyata para pelanggan sangat menyukainya
dan memesan beberapa lembar pakaian lagi dan aku dengan senang hati membuat
kancing-kancing itu setiap harinya , terkadang ada juga pelanggan dari kota
datang untuk memesan kancing tempurung dengan bentuk dan warna yang beragam.
Kini aku memiliki beberapa teman untuk membantuku menyelesaikan pesanan-pesanan
yang datang , tak hanya asbak dan kancing pakaian saja, aku telah membuat
berbagai macam kerajinan dari tempurung kelapa, dan minggu depan hasil
kerajinanku akan di kirim ke luar kota.
“Lihat bu, Aisyah bisa membantu ibu
sekarang dan sebagian pendapatannya akan Aisyah tabung”,”Alhamdulillah, tapi
jangan lupakan sekolahmu, harapan ibu dan ayahmu adalah melihat Aisyah berhasil
dengan memiliki gelar pendidikan yang tinggi, jangan seperti ibu yang hanya
lulusan SD”, nasihat ibuku ,”iya bu, Aisyah janji, Aisyah akan belajar lebih
giat lagi dan masuk ke perguruan tinggi”, ucap ku sambil memeluk ibuku, dari
kejauhan pak Slamet melihat ku dengan tersenyum sambil menitikkan air mata,
terimakasih pak, terimakasih banyak, bapak telah menjadi inspirasiku, aku tidak
akan pernah melupakan jasa-jasa bapak, ucapku dalam hati.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar