Senin, 04 Maret 2013

cerita pendek(cerpen)


Nama               : Reni Dewita Sari
Universitas        : Universitas Jambi
Fakultas           : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Jurusan             : Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Program Studi  : Pendidikan Kimia


Kancing-kancing kecil

            Udara siang ini begitu terik ku rasakan , hembusan angin yang bertiup telah meruntuhkan dedaunan yang kering , kerikil-kerikil jalanan ini telah penuh masuk ke dalam sepatu ku yang telah berlubang , sesekali ku harus berhenti sejenak untuk mengeluarkan kerikil-kerikil itu , sambil terus menapakkan kaki ku berjalan menyusuri jalan setapak yang ramai di lalui warga kampung ku , kring-kring... terdengar oleh ku bunyi bel sepeda tua pak Slamet yang tetap nyaring bunyinya , dengan senyum ramah pak Slamet menghampiri ku , “ Mau pulang dengan bapak nak ?? “ , tanya pak Slamet ramah , “ oh.. boleh pak “, jawabku segera . Pak Slamet adalah guru agama ku , orangnya sangat ramah dan penyabar , tak heran jika banyak murid yang menyukainya ,ia juga seorang yang cerdas , yang mampu mengatasi masalah dengan segera dan merupakan sosok yang di butuhkan di lingkungan masyarakat sekitar. “ Nah ... sudah sampe nak “, ucap bapak ketika sampai di depan  rumahku , “ iya pak terimakasih , mau mampir dulu pak ? “, “ oh ... tidak usah , lain kali saja nak , kalau begitu bapak pulang dulu , Assalamualaikum.... “, “ Walaikumsalam “, jawab ku sambil tersenyum , ku pandangi pak Slamet yang berlalu sambil mengayuh sepeda tuanya, sampai di penghujung jalan dan sosok itu tak terlihat lagi , “ Aisyah...... “, panggil seseorang dari balik pintu , sambil tersenyum ku hampiri ibu ku dan ku kecup tangannya , tangan yang sudah tak muda lagi , tangan yang menjadi saksi bisu betapa kerasnya hidup ini dan tangan yang selalu lembut membelai rambut ini dengan penuh kasih sayang, “ ganti pakaianmu nak, shalat dan makan “, ucapnya lembut , dengan segera ku jalankan perintahnya , setelah mengganti pakaian dan shalat dzuhur ku hampiri meja kayu sederhana di dapur , meja sederhana peninggalan ayahku dua tahun yang lalu, yah... aku sudah menjadi anak yatim sekarang , sosok ayah telah tiada , ia telah lebih dahulu menghampiri surga setelah mengalami sakit yang begitu keras , namun tak mengapa , aku masih bersyukur karna aku masih memiliki sosok ibu yang begitu mencintaiku sepenuh hatinya, “makan nak, setelah itu tolong antarkan pesanan jahitan bu kades “, ucap ibu dari balik kelambu pintu kamar yang telah usang, sambil lahap ku menyantap menu masakan ibu hari ini , rebusan daun ubi sambal terasi lengkap dengan ikan asin di atasnya mampu membuat nafsu makan ku naik , masakan ibu memang yang terlezat tak perduli walau menu yang di sediakan sangat sederhana. Setelah selesai makan ku bergegas mengantarkan pesanan jahitan bu kades, tok tok tok, ku ketuk pintu rumah bu kades dan tak lama dari itu bu kades menghampiri , “ ini bu pesanannya “, ucapku seraya menyerahkan kantung plastik kepada bu kades, “ oh.. iya terimakasih ya nak Aisyah “, ucap bu kades , “ iya bu , kalau begitu saya pamit pulang dulu , Assalamualaikum”, ucapku seraya meninggalkan rumah bu kades.
            Jalanan ini begitu sepi kala hari telah menjelang petang, ku lihat ibu-ibu penjual sayur mulai merapikan dagangannya, dan anak-anak yang dengan riang telah bersiap untuk pergi mengaji, hmmm.... sungguh pemandangan setiap hari yang ku rasakan, disini ku telah berdiri, di depan mushola kecil berlampu petromak, di kampungku ini masih belum ada listrik,jadi tak heran jika rumah-rumah hanya berlampu petromak dan obor yang di pasang di jalan-jalan . Telah ku lihat pula pak Slamet yang tengah mengajari seorang anak mengaji sedang yang lain belajar arab kaligrafi, “ka Aisyah ini bacanya apa ?” tanya seorang adik kecil kepada ku, sambil tersenyum ku lihat buku Iqro’ nya yang mulai usang dan tulisan yang telah kabur dengan sobekan-sobekan kecil di tepinya,”oh,, ini bacanya Lam”,jawabku, “terimakasih ka Aisyah”, ucapnya seraya tersenyum dan berlari kembali ke rombongan teman-temannya, ku hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat tingkahnya yang lucu, “Aisyah,,,”, panggil pak Slamet , “iya pak,,”, jawabku , “Sekarang giliranmu untuk mengaji”, dengan sabar pak Slamet mengajari ku mengaji dan memperbaiki bacaan-bacaan ku yang salah, “sudah hampir benar cara membacanya, tinggal di pelajari lagi, InsyaAllah bisa”, ucap pak Slamet memberi semangat, sambil menganggukkan kepala ku pamit untuk pulang.
Cahaya obor menerangi jalan ku untuk sampai kerumah, para bapak-bapak telah bersiap-siap untuk ronda dan ibu-ibu yang mengasuh anak-anak mereka, sesampainya di rumah ku lihar ibu yang tengah menjahit sambil mendengarkan siaran radio kesukaannya,esok hari minggu, jadi ku tak perlu cepat-cepat untuk beranjak tidur,ku hampiri ibu dan kuceritakan pengalaman hari ini dan ia mendengarkan sambil tersenyum, ku lihat ibu tengah menjahit sebuah baju dengan corak batik coklat yang sangat cantik, dalam hati aku ingin memiliki pakaian hasil jahitan ibu, namun tampaknya tidaklah mungkin. Malam sudah mulai larut, sunyi sepi telah terasa, ku beranjak masuk kamar dan tertidur , hanya suara-suara jangkrik yang terdengar di luar sana memecah kesunyian di malam ini.
            Suara adzan subuh membangunkanku, mendorongku tuk menunaikan shalat subuh, ku lihat ibu juga telah terbangun dengan telekun di tangannya bersiap untuk shalat subuh berjamaah di mushola , ku pun segera menyusulnya tak ingin ketinggalan moment-moment ini. Setelah shalat berjamaah selesai ku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar , menikmati indahnya matahari pagi, saat melintasi halaman rumah pak Slamet , ku melihat beliau sedang sibuk dengan tempurung kelapa yang telah kering , ku hampiri beliau dan ku tanyakan apa yang tengah di lakukannya, “ oh... bapak tengah membuat asbak dari tempurung kelapa ini,hasilnya lumayan bagus dan tahan lama”, jawab beliau, “sepertinya unik dan menarik pak, bolehkah saya belajar membuat asbak dari tempurung kelapa ini ?”, tanyaku kepada pak Slamet, “tentu saja nak,siapa pun boleh belajar,kamu bisa memulainya nanti siang,sekarang pulanglah dahulu, bantu ibumu membereskan pekerjaan rumah”,ucapnya kepada ku. Seperti janji pak Slamet, beliau mengajariku cara membuat asbak siang ini , dimulai dengan membelah tempurung kelapa, mendesain bentuk, mengamplas,dan terakhir memberi cat, sebelum akhirnya di jemur di bawah sinar matahari, percobaan pertama sangat memuaskan, membuatku ketagihan untuk membuat lagi, di rumah dikala waktu senggang ku selalu berurusan dengan tempurung-tempurung kelapa ini, dengan telaten ku olah tempurung kelapa ini menjadi asbak dengan berbagai bentuk dan warna , bahan-bahan membuat asbak ku dapatkan dengan cara menyisihkan sebagian uang sakuku setiap harinya. Asbak hasil buatan ku ,ku pajang di atas meja panjang dekat dengan mesin jahit ibu , terkadang ada juga yang tertarik untuk memilikinya , dengan senang hati ku menjualnya dengan harga terjangkau , sekedar untuk mengganti harga cat saja, dalam waktu yang tak lama, asbak-asbak buatan ku telah ada di setiap rumah-rumah warga, tak sedikit pula yang datang untuk belajar cara membuatnya , dan dengan senang hati aku mengajari mereka, seperti saat pak Slamet mengajari ku.
            Siang ini aku tak mengantarkan pesanan jahitan pelanggan ibu seperti biasanya, sungguh aneh ku rasakan, “bu, kenapa hari ini tidak ada pesanan jahitan yang di antar ?”, tanyaku pada ibu, “ untuk sekarang belum bisa di antar, karena kancing untuk pakaian pesanan itu habis, ibu lupa untuk memesan kancing-kancing itu pada pamanmu ketika beliau ke kota kemaren”, terang ibuku, “lalu bagaimana bu,jika tidak segera di antar maka mereka akan marah dan tidak mau menjahit di sini lagi”, ucapku kemudian , “entahlah, ibu juga binggung”, ucap ibuku dengan wajah cemas, aku hanya bisa tertunduk sambil manarik nafas. Saat ku berjalan ke belakang, ku melihat tumpukan tempurung kelapa yang tersisa, jika tempurung kelapa dapat di olah sebagai asbak,tentu dapat diolah juga sebagai kancing pakaian, dengan segera ku ambil peralatan dan mulai mengolah tempurung kelapa ini menjadi kancing , namun itu tidak mudah , ukuran kancing yang sangat kecil sangat sulit untuk di bentuk, banyak bagian tempurung yang tidak rata dan bentuk yang tidak di harapkan, sudah dua jam aku berusaha membentuk tempurung kelapa ini , namun hasilnya tidak memuaskan , ini sangat sulit, namun aku tidak boleh menyerah , sejenak ku teringat bahwa dulu ayahku adalah tukang kayu pembuat perabot rumah tangga, segera ku berlari ke tempat penyimpanan alat-alat ayahku, ku temukan di situ pisau-pisau kecil untuk mengukir, bor kecil dan beberapa lembar amplas, “semoga kali ini berhasil”, ucapku dalam hati, dengan penuh semangat ku ukir tempurung-tempurung kelapa ini dengan pisau-pisau kecil , kemudian membor kancing-kancing ini dengan hati-hati, mengamplas agar permukaannya menjadi halus dan kemudian mengecatnya  agar tampak mengkilat, puas rasanya setelah melihat hasil usahaku sendiri, setelah di jemur di bawah terik matahari, kuserahkan kancing-kancing buatanku kepada ibu, dengan bahagia ibu menerima kancing-kancing ku, dan menjahitkannya pada pakaian pesanan pelanggan ibu, tak hanya sampai di situ kebahagiaan ku, ternyata para pelanggan sangat menyukainya dan memesan beberapa lembar pakaian lagi dan aku dengan senang hati membuat kancing-kancing itu setiap harinya , terkadang ada juga pelanggan dari kota datang untuk memesan kancing tempurung dengan bentuk dan warna yang beragam. Kini aku memiliki beberapa teman untuk membantuku menyelesaikan pesanan-pesanan yang datang , tak hanya asbak dan kancing pakaian saja, aku telah membuat berbagai macam kerajinan dari tempurung kelapa, dan minggu depan hasil kerajinanku akan di kirim ke luar kota.
            “Lihat bu, Aisyah bisa membantu ibu sekarang dan sebagian pendapatannya akan Aisyah tabung”,”Alhamdulillah, tapi jangan lupakan sekolahmu, harapan ibu dan ayahmu adalah melihat Aisyah berhasil dengan memiliki gelar pendidikan yang tinggi, jangan seperti ibu yang hanya lulusan SD”, nasihat ibuku ,”iya bu, Aisyah janji, Aisyah akan belajar lebih giat lagi dan masuk ke perguruan tinggi”, ucap ku sambil memeluk ibuku, dari kejauhan pak Slamet melihat ku dengan tersenyum sambil menitikkan air mata, terimakasih pak, terimakasih banyak, bapak telah menjadi inspirasiku, aku tidak akan pernah melupakan jasa-jasa bapak, ucapku dalam hati.

SEKIAN
             

Tidak ada komentar: